Mengembalikan Ilustrasi Menjadi Kegiatan yang Menyenangkan

Nabila Azzahra
3 min readMay 26, 2023

--

Meja kerja

Saya lupa kapan terakhir belajar karena benar-benar ingin tahu. Bukan karena takut tertinggal dari yang lain, keharusan belajar demi jenjang karir yang lebih baik, atau mempelajari suatu hal untuk bisa dijadikan penghasilan di lain waktu. Lalu setelah belajar, melakukan perbandingan yang tidak sepadan, hingga menghasilkan burnout dan minder.

Perasaan ini hadir ketika saya merasa waktu yang ada belum cukup, untuk mempelajari hal-hal yang kiranya akan menunjang pekerjaan.

Meski masih menjadi anak rumah tangga, saya hanya memiliki sedikit tenaga dan waktu untuk ilustrasi (belajar dan pekerja lepas). Kegiatan seperti memasak, membersihkan rumah, dan merapikan toko buku milik keluarga kami — bahkan sering terbengkalai karena kewalahan — menyita setengah hari ku. Lalu selepas itu rasanya badan dan pikiran sudah tidak bisa diajak kerjasama, untuk fokus di meja demi belajar menggambar. Ia ingin rebahan saja.

Sejak memilih profesi ilustrator, menggambar yang tadinya merupakan kegembiraan perlahan-lahan perannya mulai bergeser. Ia sudah memasuki kewajiban yang musti ku kerjakan. Memenuhi kepuasan klien, berkawan dengan deadline, mengorbankan jam tidur, mata yang di depan layar, dan punggung yang bentuknya sudah melengkung ke sana kemari mengikuti posisi duduk yang lama. Kemudian di sisi lain pula, harus meningkatkan kemampuan diri agar bisa mengikuti perkembangan masa kini, sekali lagi bukan karena rasa ingin.

Kesenangan dan kegemaran yang dulu ku dapatkan berubah menjadi ambisi yang ingin lebih unggul dari orang lain. Ini masih terdengar indah, jika hanya dalam bentuk kalimat motivasi yang tertempel di dinding kamar, atau dijadikan wallpaper handphone — (Padahal perlu diingat lawan yang seimbang ialah diri sendiri) Namun rasa berpacu dengan waktu itu melelahkan. Dan jika tidak terwujud, maka akan mengalami demotivasi serta membuat permakluman pendukung. Seperti halnya tulisan ini.

Pernah saya termakan iming-iming, ‘bekerja sesuai passion seperti melakukan hobi yang dibayar’, itu hanya terjadi di waktu-waktu awal menjadikan ilustrasi sebagai pekerjaan, atau jika tidak menggantungkan penghasilan di sini. Tentu karena sudah ada pengharapan orang lain di dalamnya yang harus kita wujudkan. Sedangkan hobi, sebebas kita.

Pun ketika ilustrasi mulai berorientasi pada penghasilan, maka mudah sekali untuk berubah haluan oleh gaya ilustrasi yang sedang marak digandrungi. Apalagi saat mau mengintrospeksi bahwa ilustrasi milik sendiri masih tidak bagus-bagus amat, semakin ragu lah ia. Dan ternyata menjalankan profesi ilustrasi dengan belum betul-betul bertalenta pula, perlu modal yang tidak sedikit untuk menunjang. Waktu untuk belajar, mengambil kelas tambahan, keperluan alat-alat manual maupun digital yang tidak semua orang sanggup. Dan jika semua peralatan sudah terpenuhi, tidak bisa mempelajari hanya dalam seminggu atau sebulan, lantas langsung mahir. Tentu tidak semua bisa menunggu, terutama jika ia sebagai tumpuan keluarga.

Pada fase ini banyak yang mulai goyah. Maka termasuk istimewalah jika masih ada sponsor keberlangsungan hidup dari orangtua, sebagai tiang-tiang penyangga yang siap menopang di masa-masa belajar dan jatuh.

Sampai akhirnya saya mengikuti dua kelas ilustrasi lagi yang kedua kalinya dengan tujuan yang berubah. Tadinya berfokus ke jenjang karir, kini ingin mengabadikan momen dengan menggambar, mewujudkan memori dalam bentuk gambar, atau khayalan apa pun yang ada di dalam kepala ku.

Saya ingin mengembalikan kegiatan ilustrasi menjadi sahabat terbaik ku di kala usia anak-anak hingga remaja — memasuki transisi usia dewasa awal. Ia menemani ketika saya terlambat dijemput, sepi, bosan di kelas, suntuk belajar di masa sekolah. Menjadi penyalur duka, persoalan yang belum ku temukan jawabannya, dan mengalihkan perasaan ku dari burnout pada usia dewasa kini. Karena ketika menggambar pula, perasaan ku amat sangat tentram — tenang, membawa rasa optimis, sukacita, jiwa menjadi lapang, kemudian hanyut dalam suasana yang ku bangun. Seperti halnya saat saya menulis cerita fiksi, maupun membaca buku anak-anak di masa kecil bahkan usia dewasa kini.

Ada potongan ingatan tentang waktu yang paling ku nantikan. Yang membuat ku bersemangat menyambut pagi-pagi yang akan datang. Ingatan ku mulai berputar kembali di tahun 2000an, saat bangun pagi hanya untuk menggambar. Dengan krayon atau pensil warna, sambil menonton acara Club Disney Indonesia — dalam acara itu ia meliput tentang jalan-jalan ke pabrik-pabrik besar, menampilkan beberapa gambar kiriman dan memutar film kartun Disney di indosiar.

Ku sadari betul bahwa menekuni hal-hal yang disukai pada usia bekerja ternyata begitu istimewa, yang tidak semua orang bisa lakukan. Ada begitu banyak yang perlu ditukarkan. Maka akan tetap ku nantikan saat-saat istimewa itu.

--

--

Nabila Azzahra
Nabila Azzahra

Written by Nabila Azzahra

Illustrator for my own, graphic designer for my job and storyteller for my pet. Sometimes writing stories on medium.com/@littlewoman

No responses yet